Jumat, 30 Maret 2012

60 + Earth Hour, aksiku dan aksimu

Perubahan iklim sejatinya merupakan peristiwa alam yang alami. Namun, akibat ulah manusia melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer, temperatur bumi pun meningkat drastis. Inilah yang lalu dikenal dengan istilah pemanasan global.

Pertanyaan berikutnya lalu menyeruak, “Ulah manusia seperti apa yang mampu melepaskan gas yang mengancam keberlangsungan hidup seluruh penghuni Bumi?” Salah satu jawaban paling populer adalah konsumsi energi listrik yang tak mampu dibendung lagi.

Listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan di rumah tangga maupun industri. Mulai dari peralatan dapur di rumah-rumah, pemakaian lampu, pendingin udara di gedung-gedung pencakar langit maupun pusat perbelanjaan, hingga mesin pabrik-pabrik besar semua membutuhkan listrik.

Namun, bukan berarti kita bisa membenarkan penggunaan listrik yang tanpa kontrol. Ada baiknya kita mulai merenung sejenak darimana energi listrik itu berasal.

Ancaman krisis energi
Umumnya listrik diperoleh dengan mengubah energi kinetik melalui generator menjadi listrik. Energi kinetik yang menggerakkan generator didapat dari uap yang dihasilkan dari pembakaran sumber energi fosil seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam.

Walaupun ada sumber energi lain yang juga bisa dimanfaatkan, yakni aliran air atau udara, energi fosil tetap menjadi primadona. Ya, energi fosil memang relatif mudah diperoleh, tapi konsekuensi yang harus ditanggung Bumi pun tak main-main. Semakin besar konsumsi energi fosil, maka akan semakin cepat habis cadangannya di dalam perut Bumi.

Selain masalah terbatasnya persediaan, setiap tahapan dalam proses energi fosil menghasillkan polusi dan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Mulai dari pemanfaatan hingga limbah akhir pembakarannya, emisi yang dihasilkan pun berkontribusi pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini kemudian berdampak pada pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim.

Tentu tidaklah bijak jika kita terus-menerus menggantungkan energi listrik kita kepada sumber energi fosil. Candu energi fosil menyebabkan cadangan kian menipis.

Istilah krisis listrik agaknya tidaklah berlebihan mengingat maraknya pemadaman listrik yang terjadi. Tidak hanya di pelosok-pelosok desa yang jauh dari sumber energi, tetapi juga di kota-kota besar yang dekat dengan sumber energi, bahkan Jakarta pun tak luput dari pemadaman listrik.

Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat konsumsi listrik yang tak terkontrol. Terbatasnya kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini tak mampu mengikuti laju kebutuhan konsumsi listrik. Penggunaan listrik yang boros berdampak pada berkurangnya pasokan listrik. Pemadaman bergilir pun menjadi pilihan yang tak terelakkan.

PT Perusahaan Listrik Negara telah memproyeksikan peningkatan konsumsi listrik dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2010-2019. Dokumen tersebut menyebutkan, kebutuhan tenaga listrik diperkirakan mencapai 55.000 Mega Watt (MW). Dengan kata lain, rata-rata peningkatan kebutuhan listrik per tahun mencapai 5.500 MW.

Guna memenuhi kebutuhan listrik yang terus melonjak, maka pihak penyedia energi listrik, PLN, mulai bekerja ekstra untuk meningkatkan kapasitas pembangkit di sejumlah lokasi. Namun solusi ini dapat dipastikan akan sia-sia jika di sisi lain pemborosan energi masih saja terjadi. Di sinilah kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan listrik berperan penting dalam menanggulangi ancaman krisis energi listrik.

Earth Hour
Efisiensi energi adalah salah satu solusi kunci untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan krisis energi. Satu langkah sederhana, namun memiliki dampak yang signifikan.

Pemikiran inilah yang menjadi “napas” Earth Hour, kampanye global untuk perubahan iklim yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia. Dengan mengajak seluruh warga dunia untuk mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak terpakai selama satu jam pada setiap hari Sabtu terakhir setiap bulan Maret, Earth Hour berperan besar dalam upaya penghematan energi.

Fokus Earth Hour sendiri memang sengaja dipusatkan di Jawa-Bali mengingat konsumsi listrik di dua pulau tersebut mencapai 78 persen. Sementara 23% total konsumsi listrik Indonesia, terfokus di DKI Jakarta dan Tangerang.

Sebagai ilustrasi, jika 10 persen penduduk Jakarta mematikan lampu, maka kampanye Earth Hour akan mampu menghemat 300MW. Angka tersebut setara untuk mengistirahatkan satu pembangkit listrik. Setara pula dengan daya listrik yang diperlukan untuk menyalakan 900 desa.

Tidak hanya itu, kampanye mematikan lampu ini juga diyakini dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 267,3 ton, setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun. Pengurangan emisi CO2 sebesar itu setara dengan ketersediaan oksigen untuk 534 orang. Secara ekonomi, satu jam tanpa lampu mampu mengurangi beban listrik Jakarta hingga Rp 200 juta.

Earth Hour mengingatkan kita bahwa terjadinya perubahan iklim juga berasal dari penggunaan pembangkit
listrik berbahan bakar fosil sehingga butuh kesadaran kita tentang pentingnya gaya hidup hemat energi.

Gerakan hemat listrik tidak terbatas pada tujuan untuk menghemat biaya tagihan. Lebih dari itu, hemat listrik juga menjadi solusi krisis pasokan listrik serta ancaman pemanasan global.

Dengan berpartisipasi dalam Earth Hour, kita tidak hanya berkontribusi menyelamatkan pasokan energi di Indonesia, tapi juga energi dunia. Jangan lupa matikan lampu hari Sabtu, 31 Maret 2012, selama 1 jam, pukul 20.30-21.30.( Oleh : Masayu Yulien Vinanda dari WWF Indonesia )

Bikin Kontribusi Yuk...

Bagi yang ingin pesan, silahkan comment dulu ya...

Sejarah organisasi Pencinta Alam di Indonesia

Ingatlah hai engkau penjelah alam :
1. Take nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]
2. Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3. Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]
dan senantiasa ;
1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan
peralatan serta perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita
sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan
melindunginya]
3. Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala
sesuatunya dengan baik.

Sejarah Pencinta Alam Serta Perkembangannya
Apabila sejenak kita merunut dari belakang, sebetulnya sejarah manusia tidak jauhjauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala, padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi. Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam dimulai :
Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam sejarah.
Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan  "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi 8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet. Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari
Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu "Perkumpulan Pentjinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulan
ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?." Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik”
Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung. Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampungkampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah  merasa sebagai pecinta alam.

MAPALA, Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam. Dalam sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992) kegiatan Mapala dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam kaliber sport beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi puncak gunung tinggi, turun ke lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di kederasan jeram sungai deras, keluar masuk daerah pedalaman yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan Mapala berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktifitas meliputi pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran gua (caving), pengarungan arus liar(rafting), penghijauan dan lain sebagainya. Tak ayal lagi bahwa kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya harus memahami konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan organisasi ini. Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan kematian. Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang tinggi ini, dibutuhkan kesiapan mental, fisik dan skill yang memadai. Berbagai macam latihan dan pengalaman terjun langsung ke alam dapat meminimalisir resiko yang akan dihadapi. Tapi, diluar semua itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang. MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ?
Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.
Kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat. ( Fajrul Iman Ibrahim )

Rabu, 28 Maret 2012

Ternyata Kampus ini pernah punya : sedikit kenangan....

Eksepedisi Racana Wira Bhumi ( Sumber : Majalah SANDI )

Mendaki Gunung dan Pembentukan Karakter

Banyak orang menganggap mendaki gunung adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja dan efeknya pun bersifat subjektif. Bahasa kasarnya, mendaki gunung adalah kegiatan bagi orang-orang yang “ kurang kerjaan “. Begitu skeptisnya pandangan banyak orang sehingga pendakian gunung sering dipandang kegiatan bagi sebuah komunitas saja. Banyak yang bertanya “apa sih manfaatnya? Atau banyak yang bilang “ ah..Mereka Cuma cari sensasi “. Selain faktor keselamatan dimana pendakian gunung adalah sebuah kegiatan yang beresiko keselamatan jiwa sehingga banyak orang tua yang “belum mendukung” kegiatan putera-puterinya.
Tapi kegiatan pendakian gunung sejatinya adalah kegiatan yang sangat positif. Tentunya jika dilakukan dengan benar dan tepat. Berikut kita akan membahas pembentukan karakter melalui pendakian gunung yang mungkin pernah kita rasakan akan tetapi belum diresapi.
Salah satu efek dari orang mendaki gunung adalah menyehatkan. Sehat Fisik, Sehat mental ,sehat spiritual, dan membentuk  nasionaslime yang sehat pula. Soe Hok Gie salah satu aktivis remaja Indonesia yang banyak menghabiskan waktunya diatas gunung mengakui bahwa pemuda  yang sehat akan dapat berguna bagi bangsanya karena didalam tubuhnya terpancang nasionalisme yang sehat. Proses penyehatan ini tidak dapat dilakukan dengan hanya dengan slogan, hipokrasi atau dewasa ini melalui kesenangan-kesenangan semu. 
Pernah nggak sahabat sekalian jika mendaki gunung merasakan setiap sifat asli kita muncul ke permukaan tanpa disadari. Di tengah beratnya beban yang di panggul, di tengah lelahnya tubuh, maka akan muncul sikap Egois, putus asa, apatis, mau menang sendiri,manja,mengeluh,menyesal..semuanya jadi satu. Disinilah letak pembentukan karakter tersebut. Setelah menyadari karakter itu muncul ke permukaan maka yang kita lakukan adalah mengendalikannya. Ya , mau tak mau di atas gunung kita harus mengendalikannya. Contohnya jika kita memiliki sikap apatis atau egois. Kita sadar dalam perjalanan di atas gunung yang terpenting adalah kerjasama tim. Mungkin sekilo , dua kilo meter semuanya masih bisa jalan bersama, akan tetapi untuk kilo kilo berikutnya maka banyak team yang sudah terpencar. Ada yang anggota tim yang lemah dan ada yang kuat. Sering terjadi bencana kecelakaan dan tersesat adalah disaat tim terpisah-pisah dan terpencar. Nah disini “keapatisan” kita di uji. Jika kita berada di posisi yang kuat maka kita akan terganggu dengan gerak rekan kita yang lemah, kita akan merasa gerak rekan kita itu hanya mengahambat, merepotkan, maka kita akan mengambil sikap untuk meninggalkannya. Atau jika kita kita berada diposisi yang lemah, maka kita akan manja, menonjolakan kelemahan kita, dan tidak mau mengimbangi gerak tim. Disinilah semua di uji. Jika sikap sikap itu tidak dikendalikan, maka bisa membahayakan jiwa masing masing. Salah satu contoh lagi, jika kita di tugaskan menjadi sweeper..eh sudah mau sampai puncak ada anggota tim yang ngedrop dan harus di bawa turun.,maka kita akan bertengkar dengan diri kita sendiri melawan ego untuk merelakan puncak demi tim.
Selain itu kemampuan manajerial baik fisik, logistik, waktu dan bahkan stress di uji ketika naik gunung. Semakin banyak pengalaman kita di gunung maka tingkat manajerial itu akan sangat terasah dan bisa kita bawa ke kehidupan kita sehari hari.
Nah, naik gunung ternyata bukan kegiatan mubadzir, bukan kegiatan yang kurang kerjaan.tapi sebaliknya kegiatan pendakian gunung adalah kegiatan yang sangat tepat untuk menemukan dan mengenali diri kita sendiri serta orang lain yang tentu tidak akan kita dapat pada kegiatan yang lain. Tentu jika kita melaksanakannya dengan baik dan benar. 
Bagaimana menurut pendapat sahabat sekalian..?? ( Mahepala )