Perubahan iklim sejatinya merupakan peristiwa alam yang alami. Namun,
akibat ulah manusia melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke
atmosfer, temperatur bumi pun meningkat drastis. Inilah yang lalu
dikenal dengan istilah pemanasan global.
Pertanyaan berikutnya lalu menyeruak, “Ulah manusia seperti apa yang mampu melepaskan gas yang mengancam keberlangsungan hidup seluruh penghuni Bumi?” Salah satu jawaban paling populer adalah konsumsi energi listrik yang tak mampu dibendung lagi.
Listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan di rumah tangga maupun industri. Mulai dari peralatan dapur di rumah-rumah, pemakaian lampu, pendingin udara di gedung-gedung pencakar langit maupun pusat perbelanjaan, hingga mesin pabrik-pabrik besar semua membutuhkan listrik.
Namun, bukan berarti kita bisa membenarkan penggunaan listrik yang tanpa kontrol. Ada baiknya kita mulai merenung sejenak darimana energi listrik itu berasal.
Ancaman krisis energi
Umumnya listrik diperoleh dengan mengubah energi kinetik melalui generator menjadi listrik. Energi kinetik yang menggerakkan generator didapat dari uap yang dihasilkan dari pembakaran sumber energi fosil seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam.
Walaupun ada sumber energi lain yang juga bisa dimanfaatkan, yakni aliran air atau udara, energi fosil tetap menjadi primadona. Ya, energi fosil memang relatif mudah diperoleh, tapi konsekuensi yang harus ditanggung Bumi pun tak main-main. Semakin besar konsumsi energi fosil, maka akan semakin cepat habis cadangannya di dalam perut Bumi.
Selain masalah terbatasnya persediaan, setiap tahapan dalam proses energi fosil menghasillkan polusi dan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Mulai dari pemanfaatan hingga limbah akhir pembakarannya, emisi yang dihasilkan pun berkontribusi pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini kemudian berdampak pada pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim.
Tentu tidaklah bijak jika kita terus-menerus menggantungkan energi listrik kita kepada sumber energi fosil. Candu energi fosil menyebabkan cadangan kian menipis.
Istilah krisis listrik agaknya tidaklah berlebihan mengingat maraknya pemadaman listrik yang terjadi. Tidak hanya di pelosok-pelosok desa yang jauh dari sumber energi, tetapi juga di kota-kota besar yang dekat dengan sumber energi, bahkan Jakarta pun tak luput dari pemadaman listrik.
Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat konsumsi listrik yang tak terkontrol. Terbatasnya kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini tak mampu mengikuti laju kebutuhan konsumsi listrik. Penggunaan listrik yang boros berdampak pada berkurangnya pasokan listrik. Pemadaman bergilir pun menjadi pilihan yang tak terelakkan.
PT Perusahaan Listrik Negara telah memproyeksikan peningkatan konsumsi listrik dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2010-2019. Dokumen tersebut menyebutkan, kebutuhan tenaga listrik diperkirakan mencapai 55.000 Mega Watt (MW). Dengan kata lain, rata-rata peningkatan kebutuhan listrik per tahun mencapai 5.500 MW.
Guna memenuhi kebutuhan listrik yang terus melonjak, maka pihak penyedia energi listrik, PLN, mulai bekerja ekstra untuk meningkatkan kapasitas pembangkit di sejumlah lokasi. Namun solusi ini dapat dipastikan akan sia-sia jika di sisi lain pemborosan energi masih saja terjadi. Di sinilah kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan listrik berperan penting dalam menanggulangi ancaman krisis energi listrik.
Earth Hour
Efisiensi energi adalah salah satu solusi kunci untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan krisis energi. Satu langkah sederhana, namun memiliki dampak yang signifikan.
Pemikiran inilah yang menjadi “napas” Earth Hour, kampanye global untuk perubahan iklim yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia. Dengan mengajak seluruh warga dunia untuk mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak terpakai selama satu jam pada setiap hari Sabtu terakhir setiap bulan Maret, Earth Hour berperan besar dalam upaya penghematan energi.
Fokus Earth Hour sendiri memang sengaja dipusatkan di Jawa-Bali mengingat konsumsi listrik di dua pulau tersebut mencapai 78 persen. Sementara 23% total konsumsi listrik Indonesia, terfokus di DKI Jakarta dan Tangerang.
Sebagai ilustrasi, jika 10 persen penduduk Jakarta mematikan lampu, maka kampanye Earth Hour akan mampu menghemat 300MW. Angka tersebut setara untuk mengistirahatkan satu pembangkit listrik. Setara pula dengan daya listrik yang diperlukan untuk menyalakan 900 desa.
Tidak hanya itu, kampanye mematikan lampu ini juga diyakini dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 267,3 ton, setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun. Pengurangan emisi CO2 sebesar itu setara dengan ketersediaan oksigen untuk 534 orang. Secara ekonomi, satu jam tanpa lampu mampu mengurangi beban listrik Jakarta hingga Rp 200 juta.
Earth Hour mengingatkan kita bahwa terjadinya perubahan iklim juga berasal dari penggunaan pembangkit
listrik berbahan bakar fosil sehingga butuh kesadaran kita tentang pentingnya gaya hidup hemat energi.
Gerakan hemat listrik tidak terbatas pada tujuan untuk menghemat biaya tagihan. Lebih dari itu, hemat listrik juga menjadi solusi krisis pasokan listrik serta ancaman pemanasan global.
Dengan berpartisipasi dalam Earth Hour, kita tidak hanya berkontribusi menyelamatkan pasokan energi di Indonesia, tapi juga energi dunia. Jangan lupa matikan lampu hari Sabtu, 31 Maret 2012, selama 1 jam, pukul 20.30-21.30.( Oleh : Masayu Yulien Vinanda dari WWF Indonesia )
sukses to mbah earth hour e ning kampus. mantep + caraka
BalasHapus