Rabu, 10 Oktober 2012

RAFTING : Sungai Elo ,Magelang bersama MAPALA POLTEKKES YOGYAKARTA


Kami mengucapkan Terimakasih sebesar-besarnya kepada rekan-rekan dari Mapala Poltekkes Yogyakarta yang mengizinkan kami untuk turut serta dalam kegiatan rafting di Sungai Elo, Magelang (7/10/12). Semoga menambah erat hubungan silaturahim dan kedepan bisa melakukan kegiatan bersama. Salam Lestari sahabat Alam.
Brefing sebelum pengarungan

Tim STPN terbawa arus

Salah Satu Tim Mapapy 


Selow..selow...

Bersama Mapapy


Zenith dan Mapapy

Sabtu, 23 Juni 2012

MAPALA ,Masyarakat dan Pertanahan

Kemarin dulu saya berjalan-jalan menyusuri kota kelahiran Pacitan yang terletak di pesisir pantai selatan ujung barat jawa timur. Iseng saja ingin jalan-jalan tak jelas sambil mencari suasana baru dan berkenalan dengan orang-orang baru.Tersebutlah sebuah pantai yang letaknya cukup terpencil menjadi tujuan saya kali ini. Pantai Buyutan namanya. Disini saya tidak akan membahas tentang catatan perjalanannya, tapi lebih pada kenyataan bahwa ada sekelompok masyarakat yang sedang bertahan hidup di sebuah desa yang terpencil.

Saat saya memasuki desa dimana letak pantai itu berada, ternyata sebagian besar penduduknya adalah petani. Bisa dibayangkan bagaimana sekelompok masyarakat pesisir yang bertani di kawasan karst atau batauan kapur,tentu memerlukan perjuangan yang sangat berat. Namun keadaannya tidak begitu.,di dekat pantai yang sangat indah itu terhampar sawah mereka yang begitu hijau. Saya heran betapa kerasnya niat penduduk untuk menciptakan pertanian seperti ini. Yang saya takutkan,bagaimana sistem ini akan hancur jika sudah masuk industrialisasi pariwisata. Lahan pertanian itu akan berubah menjadi bungalow,hotel,restoran. Apakah itu menguntungkan masyarakat ? Belum tentu,karena kebanyakan sebuah sistem industri justru akan manggusur masyarakat asli dan mendatang SDM yang lebih profesional dari luar.

Lihat, Hal seperti ini,pemikiran seperti ini tidak akan pernah saya dapatkan jika saya tidak "iseng" jalan-jalan karena kecintaan pada indahnya alam. Kenyataan itu tidak akan terlihat jika saya hanya berkutat dengan modul kuliah,mendengar teori,dan berdebat tak berujung pangkal. Permasalahan itu ada di lapangan, tidak di kampus. Mereka yang mengeluh karena kehilangan lahan, mereka yang mengeluh karena sertipikatnya tak jadi jadi setelah menunggu hampir bertahun-tahun tanpa kejelasan,mereka yang takut mengurus sertipikat karena tak tau caranya, mereka yang ditipu para tengkulak mereka yang berjuang bertahan hidup dengan menjadi petani. Mereka semua masyarakat kita dan mereka ada di lapangan.

Benar apa yang dikatakan seorang dosen, " kita orang BPN harus sering jalan-jalan". Walaupun disampaikan dengan nada berseloroh akan tetapi pernyataan itu benar adanya. Senada dengan ungkapan Sir Henry Dunant " sebuah negara tak akan kehabisan pemimpin jika pemuda nya masih ada yang senang naik gunung dan melakukan kegiatan alam lainnya". Mapala adalah suatu wadah yang tepat untuk menampung sebuah konsep tersebut. Sambil menikmati alam kita memakai kacamata intelektual kita untuk melihat masyarakat secara nyata lengkap dengan permasalahannya. Setelah itu memikirkan solusi untuk mengatasinya. Sambil menikmati alam kita membersihkan hati dari niatan jahat dan segala bentuk keangkuhan serta menegaskan kembali bahwa kita adalah seorang pelayan yang membantu masyarakat. Dengan mencintai alam kita memguatkan raga untuk menjadi pekerja lapang yang tangguh,mandiri dan cekatan.

Jadi sungguh sayang jika Mapala di Kampus tercinta ini tak punya dukungan bahkan dari pihak yang katanya ingin mencetak insan pertanahan yang handal.

Sabtu, 16 Juni 2012

Pencinta atau Penakluk ?

Pencinta Alam. Mungkin banyak orang ketika mendengar nama itu terbayang  orang yang suka berpetualang di alam bebas,pendaki gunung,pengarung jeram atau penyelam samudera. Yah mungkin kegiatan kepencinta alaman sering diidentikkan dengan hal hal yang berbau adventure. Entah siapa yang memulai mengaitkan kedua hal tersebut yang pada hakikatnya adalah berbeda.
Pencinta alam adalah orang yang secara sadar peduli akan lingkungan dan alam termasuk masyarakat di sekitar. Sedangkan orang yang senang melakukan "penaklukan alam " lebih cocok disebut dengan penakluk alam atau petualang dimana menjadikan alam sebagai media untuk kepuasan hasratnya. Berbeda dengan seorang pencinta alam yang menjadikan alam sebagai subjek untuk membentuk perasaan "cinta" akan keindahan alam serta berusaha untuk selalu menjaganya.

Dewasa ini banyak tumbuh klub pecinta alam di negeri ini terutama di kampus-kampus dengan Mapala nya. Akan tetapi dapat kita lihat betapa semakin sakitnya alam terbukti dengan banyak aksi vandalisme atau corat coret di gunung, sampah di pantai ataupun di sungai.
Menikmati alam tidak harus berarti merusaknya. Kita harus berterimakasih kepada alam karena memberikan izin kepada kita untuk menyentuhnya,menggapai puncak gunungnya,menyelami lautannya atau menyusuri sungainya. Sering terbayang di pikiran saya betapa indahnya menikmati alam itu secara benar. Kembali teringat masa kecil saya dimana saya dan teman-teman sering berenang di hangatnya sungai di sore hari, bermain layang-layang sambil mencium bau jerami karena habis panen dan kemudian tertiup angin senja,atau sekedar melintasi bukit belakang rumah karena ingin melihat indahnya pantai dari kejauhan. Semuanya begitu alamiah, mengalir, dan polos tanpa ada unsur gagah gagahan,congak serta sombong. Perasaan itulah yang sebenarnya ingin saya bina dalam benak dan hati saya yaitu memberlakukan alam sebagai teman sejawat tempat kita sama-sama hidup dimuka bumi dengan saling menjaga,tak menyakiti dan tak tersakiti.

Tapi ada yang aneh dengan "pencinta alam" saat ini. Puncak-puncak gunung sudah menjadi tujuan demi sebuah kebanggaan.Rekor demi rekor diukir. Lalu apa ? 7 summits ? lalu apa ? Apa akan ada yang berubah dengan indonesiamu jika kamu sudah 7 summits ? sudah menjamah puncak setiap gunung di nusantara dan di dunia ? Generasi pertama pencinta alam seperti Herman Lantang dari Mapala UI sering melontarkan nada prihatin. Beliau menegaskan bahwa yang paling penting adalah bagaimana jika kamu mencintai alam maka kamu juga tahu keadaan masyarakat dan sejak saat itu tumbuh perasaan nasionalisme yang ingin melakukan perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Itulah tujuan Mapala generasi pertama yang tidak hanya bangga dan congak telah mencapai puncak gunung.

Dan akhirnya perlu kita renungkan bersama bahwa ternyata tujuan sebenarnya adalah mampu melihat situasi alam,masyarakat dan permasalahan-permasalahan negeri ini serta lebih jauh lagi tertanam jiwa nasionalisme guna melakukan perbaikan bagi bangsa ini. Itulah mungkin tujuan sebenarnya yaitu sesuatu yang jujur dan polos.

Sumber : NN

Senin, 07 Mei 2012

Pendakian Mt. Lawu 2012


Pendakian Lawu dengan tajuk " Ngopi Ning Puncak Lawu " berhasil dilakukan.Trimakasih rekan-rekan zenith STPN. Trimakasih atas semangatnya. Trimakasih Mt. Lawu atas keindahan,keramahan dan pelajarannya ( Badai dan Hujan deras yang memaksa kami untuk melawan rasa takut). Trimakasih pada teman-teman AGL (Anak Gunung Lawu , Cemoro Kandang ) atas teh hangatnya.Hidup Mapala Zenith STPN.

Sabtu, 07 April 2012

UNIT KEGIATAN PENCINTA ALAM PERGURUAN TINGGI KEDINASAN


STPN : MAPALA ZENITH



STAN : STAPALA



IPDN : WAPA MANGGALA



STTN : WALANG



AMG  : WANASETYA



STTD : ARCHAEOPTERIK


STIS : GPA CHEBY



ATK  : MAKUPELLA


POLTEKKES YOGYAKARTA : MAPAPY



STKS : SBSM




STP  : TAPALA



STSN : BAPRAKECWARA


AKA : MAKAPALA










Minggu, 01 April 2012

Pencinta Alam menurut Herman Lantang*


Pecinta alam selama ini adalah predikat yang di sandang oleh para penggiat alam bebas dan penempuh rimba, terutama sebuah organisasi Mapala ( Mahasiswa Pecinta Alam ), sebuah predikat yang diberikan dari awam. Namun pada nyatanya, predikat tersebut sering menimbulkan polemik, apakah hanya pada sisi petualangan atau tentang peduli dengan alam? Inilah yang kadang menjadi di lupakan oleh kalangan yang menyandang predikat pecinta alam.Ironis.Herman Lantang, salah satu kawan dekat Soe Hoek Gie yang ikut berasamanya mendakiSemeru hingga meninggalnya Soe di Semeru, menyatakan, orientasi mapala seharusnya adalah untuk menyelamatkan sebuah daerah, mengenal masyarakat terdekat daerah hingga pelosok, serta suaka alam.Ia menyatakan, kepecinta alaman bukan hanya 'melihat' ke Himalaya Nepal, bukan juga Seven Summit. "Jadi lebih untuk menyelamkan jiwa patriotisme untuk mencintai tanah air, bukan orientasi setinggi setinggi gunung untuk didaki bukan sedalam lautan untuk diselami," tuturnya.Menurutnya, jadi bukan tingginya gunung tapi makin terpencil, makin terbelakang, makin sulit daerah - daerah di Indonesia disitulah letak untuk mencintai alam. "Itulah tujuan mapala jaman dahulu yang beda dengan mapala sekarang," jelas Herman.Saat ditanya mulai kapan dan siapa yang pertama kali menggunakan istilah pencinta alam, ia menerangkan bahwa istilah tersebut muncul dari ide SOE HOEK GIE teman sejalur dan sepemahamannya. Ia kemudian mengkisahkan secara sekilas awal terbentuknya pecinta alam."Istilah pencinta alam, awalnya pengemar alam itu dibawah senat sejak tahun 1964," terangnya. Namun pada tahun 1968 istilah pengemar alam berubah menjadi Pecinta alam dan pada saat itu juga langsung dibawah naungan rektorat. Herman lantang salut dengan pola pikir Soe sapaan akrab buat Soe Hok Gie yang sudah punya pola pikir lebih maju bahwa pengemar alam tersebut harus berdiri sendiri dan bukan di bawah senat mahasiswa melainkan dibawah dekan FT - SUI. Berkat usaha tersebut pengemar alam tersebut berubah nama menjadi pecinta alam di bawah rektorat langsung.Herman Lantang sempat berpesan agar Mapalawan / Mapalawati agar selalu ingat di manapun berada selalu ingat bumi tanah air kita yang tercinta."Jika engkau telah sampai hingga ke taraf ini, maka di pelosok manapun engkau berada, dibawah Matterhorn, di puncak el Capitan di sierra Nevada, di daerah Kasmir atau Nepal, di Hokkaido maupun sekitar gunung Fujijama yang suci ataupun puncak - puncak pegunungan di Selandia Baru, engkau senantiasa dan selalu akan mengarahkan wajahmu kedaerah khatulistiwa diantara benua Australia dan Asia, yaitu ibu pertiwi Indonesia karena dia adalah Mekkah dan Roma bagimu," pesannya. Ia juga menuturkan secara filosofis bahwa seseorang yang berdialog dengan alam, dengan bintang - bintang dilangit, dengan lembah - lembah dan pegunungan, dengan aliran sungai dan deburan ombak dipantai akan mendapat kesucian jiwa. Masih menurut Herman, bahwa apabila kita senantiasa berdialog dengan alam, tanah air kita sendiri dengan sendirinya akan memupuk rasa cinta pada tanah air dan membangkitkan perasaan patriotisme dalam arti kata yang sebenarnya.
"Tetapi hendaklah engkau berdialog dengan alam dengan sesungguh - sungguhnya dan sejujur - jujurnya bukan berdialog dalam mimbar pidato atau ruangan istana," tambahnya. Baginya, seseorang yang telah mendapatkan kesucian jiwa karena selalu berdialog dengan alam bebas dapat mencintai tanah airnya dengan hati yang suci bagaikan kesucian air telaga dipegunungan yang tinggi.
" Jika engkau menjadi orang yang demikian, engkau akan menghadapi hidup ini dengan tiada gentar dan engkau tidak akan mengucurkan air mata setetespun apabila engkau nanti terpaksa berpisah dari segala yang ada didunia ini," lanjutnya. Bang Herman Lantang mengingatkan sekali lagi, bahwa kita dapat menjadi pecinta alamyang baik dan akan menjadi seorang manusia yang dapat mengatakan dengan jujur pada diri kita sendiri bahwa, soal mati bukan menjadi urusanmu, tetapi yang menjadi persoalan utama ialah apa yang dapat kita perbuat dengan hidup kita yang pendek dan singkat di dunia ini untuk kebaikan rakyat dan bangsamu.
Herman Lantang menjadi legenda pendakian bersama Soe Hoek Gie dan Idhan Dhanvantari LubisSoe Hoek Gie dimata Herman Lantang adalah penggiat alam bebas sejati dan tokoh penggerak demokrasi untuk Indonesia.

( Belantara Indonesia.org )

*Herman Lantang adalah mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 60-an. Dia juga salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI dan pernah mengetuai organisasi itu pada periode '72—'74.Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura.

Jumat, 30 Maret 2012

60 + Earth Hour, aksiku dan aksimu

Perubahan iklim sejatinya merupakan peristiwa alam yang alami. Namun, akibat ulah manusia melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer, temperatur bumi pun meningkat drastis. Inilah yang lalu dikenal dengan istilah pemanasan global.

Pertanyaan berikutnya lalu menyeruak, “Ulah manusia seperti apa yang mampu melepaskan gas yang mengancam keberlangsungan hidup seluruh penghuni Bumi?” Salah satu jawaban paling populer adalah konsumsi energi listrik yang tak mampu dibendung lagi.

Listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan di rumah tangga maupun industri. Mulai dari peralatan dapur di rumah-rumah, pemakaian lampu, pendingin udara di gedung-gedung pencakar langit maupun pusat perbelanjaan, hingga mesin pabrik-pabrik besar semua membutuhkan listrik.

Namun, bukan berarti kita bisa membenarkan penggunaan listrik yang tanpa kontrol. Ada baiknya kita mulai merenung sejenak darimana energi listrik itu berasal.

Ancaman krisis energi
Umumnya listrik diperoleh dengan mengubah energi kinetik melalui generator menjadi listrik. Energi kinetik yang menggerakkan generator didapat dari uap yang dihasilkan dari pembakaran sumber energi fosil seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam.

Walaupun ada sumber energi lain yang juga bisa dimanfaatkan, yakni aliran air atau udara, energi fosil tetap menjadi primadona. Ya, energi fosil memang relatif mudah diperoleh, tapi konsekuensi yang harus ditanggung Bumi pun tak main-main. Semakin besar konsumsi energi fosil, maka akan semakin cepat habis cadangannya di dalam perut Bumi.

Selain masalah terbatasnya persediaan, setiap tahapan dalam proses energi fosil menghasillkan polusi dan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Mulai dari pemanfaatan hingga limbah akhir pembakarannya, emisi yang dihasilkan pun berkontribusi pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini kemudian berdampak pada pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim.

Tentu tidaklah bijak jika kita terus-menerus menggantungkan energi listrik kita kepada sumber energi fosil. Candu energi fosil menyebabkan cadangan kian menipis.

Istilah krisis listrik agaknya tidaklah berlebihan mengingat maraknya pemadaman listrik yang terjadi. Tidak hanya di pelosok-pelosok desa yang jauh dari sumber energi, tetapi juga di kota-kota besar yang dekat dengan sumber energi, bahkan Jakarta pun tak luput dari pemadaman listrik.

Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat konsumsi listrik yang tak terkontrol. Terbatasnya kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini tak mampu mengikuti laju kebutuhan konsumsi listrik. Penggunaan listrik yang boros berdampak pada berkurangnya pasokan listrik. Pemadaman bergilir pun menjadi pilihan yang tak terelakkan.

PT Perusahaan Listrik Negara telah memproyeksikan peningkatan konsumsi listrik dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2010-2019. Dokumen tersebut menyebutkan, kebutuhan tenaga listrik diperkirakan mencapai 55.000 Mega Watt (MW). Dengan kata lain, rata-rata peningkatan kebutuhan listrik per tahun mencapai 5.500 MW.

Guna memenuhi kebutuhan listrik yang terus melonjak, maka pihak penyedia energi listrik, PLN, mulai bekerja ekstra untuk meningkatkan kapasitas pembangkit di sejumlah lokasi. Namun solusi ini dapat dipastikan akan sia-sia jika di sisi lain pemborosan energi masih saja terjadi. Di sinilah kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan listrik berperan penting dalam menanggulangi ancaman krisis energi listrik.

Earth Hour
Efisiensi energi adalah salah satu solusi kunci untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan krisis energi. Satu langkah sederhana, namun memiliki dampak yang signifikan.

Pemikiran inilah yang menjadi “napas” Earth Hour, kampanye global untuk perubahan iklim yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia. Dengan mengajak seluruh warga dunia untuk mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak terpakai selama satu jam pada setiap hari Sabtu terakhir setiap bulan Maret, Earth Hour berperan besar dalam upaya penghematan energi.

Fokus Earth Hour sendiri memang sengaja dipusatkan di Jawa-Bali mengingat konsumsi listrik di dua pulau tersebut mencapai 78 persen. Sementara 23% total konsumsi listrik Indonesia, terfokus di DKI Jakarta dan Tangerang.

Sebagai ilustrasi, jika 10 persen penduduk Jakarta mematikan lampu, maka kampanye Earth Hour akan mampu menghemat 300MW. Angka tersebut setara untuk mengistirahatkan satu pembangkit listrik. Setara pula dengan daya listrik yang diperlukan untuk menyalakan 900 desa.

Tidak hanya itu, kampanye mematikan lampu ini juga diyakini dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 267,3 ton, setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun. Pengurangan emisi CO2 sebesar itu setara dengan ketersediaan oksigen untuk 534 orang. Secara ekonomi, satu jam tanpa lampu mampu mengurangi beban listrik Jakarta hingga Rp 200 juta.

Earth Hour mengingatkan kita bahwa terjadinya perubahan iklim juga berasal dari penggunaan pembangkit
listrik berbahan bakar fosil sehingga butuh kesadaran kita tentang pentingnya gaya hidup hemat energi.

Gerakan hemat listrik tidak terbatas pada tujuan untuk menghemat biaya tagihan. Lebih dari itu, hemat listrik juga menjadi solusi krisis pasokan listrik serta ancaman pemanasan global.

Dengan berpartisipasi dalam Earth Hour, kita tidak hanya berkontribusi menyelamatkan pasokan energi di Indonesia, tapi juga energi dunia. Jangan lupa matikan lampu hari Sabtu, 31 Maret 2012, selama 1 jam, pukul 20.30-21.30.( Oleh : Masayu Yulien Vinanda dari WWF Indonesia )

Bikin Kontribusi Yuk...

Bagi yang ingin pesan, silahkan comment dulu ya...

Sejarah organisasi Pencinta Alam di Indonesia

Ingatlah hai engkau penjelah alam :
1. Take nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]
2. Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3. Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]
dan senantiasa ;
1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan
peralatan serta perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita
sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan
melindunginya]
3. Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala
sesuatunya dengan baik.

Sejarah Pencinta Alam Serta Perkembangannya
Apabila sejenak kita merunut dari belakang, sebetulnya sejarah manusia tidak jauhjauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala, padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi. Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam dimulai :
Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam sejarah.
Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan  "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi 8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet. Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari
Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu "Perkumpulan Pentjinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulan
ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?." Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik”
Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung. Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampungkampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah  merasa sebagai pecinta alam.

MAPALA, Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam. Dalam sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992) kegiatan Mapala dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam kaliber sport beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi puncak gunung tinggi, turun ke lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di kederasan jeram sungai deras, keluar masuk daerah pedalaman yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan Mapala berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktifitas meliputi pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran gua (caving), pengarungan arus liar(rafting), penghijauan dan lain sebagainya. Tak ayal lagi bahwa kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya harus memahami konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan organisasi ini. Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan kematian. Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang tinggi ini, dibutuhkan kesiapan mental, fisik dan skill yang memadai. Berbagai macam latihan dan pengalaman terjun langsung ke alam dapat meminimalisir resiko yang akan dihadapi. Tapi, diluar semua itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang. MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ?
Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.
Kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat. ( Fajrul Iman Ibrahim )

Rabu, 28 Maret 2012

Ternyata Kampus ini pernah punya : sedikit kenangan....

Eksepedisi Racana Wira Bhumi ( Sumber : Majalah SANDI )

Mendaki Gunung dan Pembentukan Karakter

Banyak orang menganggap mendaki gunung adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja dan efeknya pun bersifat subjektif. Bahasa kasarnya, mendaki gunung adalah kegiatan bagi orang-orang yang “ kurang kerjaan “. Begitu skeptisnya pandangan banyak orang sehingga pendakian gunung sering dipandang kegiatan bagi sebuah komunitas saja. Banyak yang bertanya “apa sih manfaatnya? Atau banyak yang bilang “ ah..Mereka Cuma cari sensasi “. Selain faktor keselamatan dimana pendakian gunung adalah sebuah kegiatan yang beresiko keselamatan jiwa sehingga banyak orang tua yang “belum mendukung” kegiatan putera-puterinya.
Tapi kegiatan pendakian gunung sejatinya adalah kegiatan yang sangat positif. Tentunya jika dilakukan dengan benar dan tepat. Berikut kita akan membahas pembentukan karakter melalui pendakian gunung yang mungkin pernah kita rasakan akan tetapi belum diresapi.
Salah satu efek dari orang mendaki gunung adalah menyehatkan. Sehat Fisik, Sehat mental ,sehat spiritual, dan membentuk  nasionaslime yang sehat pula. Soe Hok Gie salah satu aktivis remaja Indonesia yang banyak menghabiskan waktunya diatas gunung mengakui bahwa pemuda  yang sehat akan dapat berguna bagi bangsanya karena didalam tubuhnya terpancang nasionalisme yang sehat. Proses penyehatan ini tidak dapat dilakukan dengan hanya dengan slogan, hipokrasi atau dewasa ini melalui kesenangan-kesenangan semu. 
Pernah nggak sahabat sekalian jika mendaki gunung merasakan setiap sifat asli kita muncul ke permukaan tanpa disadari. Di tengah beratnya beban yang di panggul, di tengah lelahnya tubuh, maka akan muncul sikap Egois, putus asa, apatis, mau menang sendiri,manja,mengeluh,menyesal..semuanya jadi satu. Disinilah letak pembentukan karakter tersebut. Setelah menyadari karakter itu muncul ke permukaan maka yang kita lakukan adalah mengendalikannya. Ya , mau tak mau di atas gunung kita harus mengendalikannya. Contohnya jika kita memiliki sikap apatis atau egois. Kita sadar dalam perjalanan di atas gunung yang terpenting adalah kerjasama tim. Mungkin sekilo , dua kilo meter semuanya masih bisa jalan bersama, akan tetapi untuk kilo kilo berikutnya maka banyak team yang sudah terpencar. Ada yang anggota tim yang lemah dan ada yang kuat. Sering terjadi bencana kecelakaan dan tersesat adalah disaat tim terpisah-pisah dan terpencar. Nah disini “keapatisan” kita di uji. Jika kita berada di posisi yang kuat maka kita akan terganggu dengan gerak rekan kita yang lemah, kita akan merasa gerak rekan kita itu hanya mengahambat, merepotkan, maka kita akan mengambil sikap untuk meninggalkannya. Atau jika kita kita berada diposisi yang lemah, maka kita akan manja, menonjolakan kelemahan kita, dan tidak mau mengimbangi gerak tim. Disinilah semua di uji. Jika sikap sikap itu tidak dikendalikan, maka bisa membahayakan jiwa masing masing. Salah satu contoh lagi, jika kita di tugaskan menjadi sweeper..eh sudah mau sampai puncak ada anggota tim yang ngedrop dan harus di bawa turun.,maka kita akan bertengkar dengan diri kita sendiri melawan ego untuk merelakan puncak demi tim.
Selain itu kemampuan manajerial baik fisik, logistik, waktu dan bahkan stress di uji ketika naik gunung. Semakin banyak pengalaman kita di gunung maka tingkat manajerial itu akan sangat terasah dan bisa kita bawa ke kehidupan kita sehari hari.
Nah, naik gunung ternyata bukan kegiatan mubadzir, bukan kegiatan yang kurang kerjaan.tapi sebaliknya kegiatan pendakian gunung adalah kegiatan yang sangat tepat untuk menemukan dan mengenali diri kita sendiri serta orang lain yang tentu tidak akan kita dapat pada kegiatan yang lain. Tentu jika kita melaksanakannya dengan baik dan benar. 
Bagaimana menurut pendapat sahabat sekalian..?? ( Mahepala )